Jumat, 25 Mei 2012

Sinopsis Novel Sungai


Setiap kali menyeberangi sungai, Sersan Kasimmerasakan suatu keharuan mendenyutkan jantungnya.Seolah-olah ia berpisah dengan sesuatu, sesuatu dalamhidupnya. Makin besar sungai itu, makin besar pulakeharuan yang menggetarkan sanubarinya.Kini, kembali ia akan menyeberangi sebuahsungai. Sekali ini bukan sungai kecil, melainkan salahsatu sungai yang terbesar di Jawa Tengah, SungaiSerayu.Sersan Kasim adalah Kepala Regu 3, Peleton2 dari kompi TNI terakhir yang akan kembali kedaerah operasinya di Jawa Barat. Tentara Belandatelah menduduki Yogya, persetujuan gencatansenjata telah dilanggar, dan Republik tidak merasaterikat lagi oleh perjanjian yang sudah ada.Jam satu malam cuaca gulita dan murung,hujan turun selembut embun namun cukupmembasahkan. Hati-hati Kasim memimpin anakbuahnya menuruni tebing yang curam dan licin.la sendiri berjalan sangat hati-hati, menggendongbayi pada panggulnya, sebelah kiri. Dari bahu kananbergantung sebuah sten. Hanya samar-samarmatanya yang terlatih melihat orang berjalan didepannya. Untuk memudahkan penglihatan, tiaptiapprajurit yang kurang baik matanya, memasangsepotong cendawan yang berpijar pada punggungkawan yang berjalan di mukanya.Sepuluh bulan yang lalu, pada bulan Februari1948, Sersan Kasim juga menyeberangi Sungai Serayudengan kompinya. Tatkala itu mereka berjalan ke arahtimur. Persetujuan Renville telah ditandatangani danpasukan-pasukan TNI harus hijrah dari kantongkantongdalam wilayah de facto Beianda. Banyak diantara bintara dan prajurit yang membawa serta anakistrinya.Ketika itu Sersan Kasim telah setengah tahunmenikah. Istrinya yang belia sudah lima bulanmengandung. Namun ia memaksa mengikuti suaminyake wilayah kekuasaan Republik. Pernah terpikir olehKasim untuk menitipkan istrinya kepada mertuanyadi Pager Ageung. Tapi tidak sempat, lagi pula Aminahtak mau ditinggalkan. la bersitegang hendak ikut. Dansiapa yang dapat bertahan terhadap sifat keras kepalawanita yang mengandung?Dua bulan setelah mereka tiba di Yogya, Acepdilahirkan. Matanya hitam tajam, meskipun badannyasangat kecil, dan rambutnya lebat seperti hutan diPriangan. Tapi untuk melahirkan anaknya, Aminahtelah menggunakan sisa-sisa tenaga rapuhnya yangterakhir. Ia meninggal sehari kemudian karenakepayahan. Acep dapat dipertahankan hidupnyaberkat rawatan khusus para dokter dan juru rawatdi rumah sakit tentara.Kini Sersan Kasim berjalan kembali ke Jawa Barat.Kali ini jarak Yogya Priangan Timur harus merekatempuh dengan berjalan. Tidak ada truk Belandayang mengangkut, tidak ada kereta api Republik yangmenjemput. Mereka berjalan kaki, menempuh jaraklebih dari 300 kilometer, turun lembah, naik gunung,menyeberangi sungai kecil dan besar.Akhirnya mereka tiba kembali di tepian SungaiSerayu, akan tetapi jauh di hulu, di kaki pegunungandaerah Banjarnegara. Kini tiada jembatan, tiadatitian. Mereka harus terjun ke dalam air.Perlahan-lahan Sersan Kasim menuruni tebingyang curam. Ia menggigil dilanda angin pegunungandari seberang lembah. Dengan cermat dia perbaikiletak selimut berlapis dua yang menutupi Acepdalam gendongan Acep, biji matanya, harapan idamidamannya.Kemudian, dengansatu gerakan dia usapair hujan pada wajahnya sendiri. la menggigil lagi.Iring-iringan sekonyong-konyong berhenti. Prajuritdi depannya juga menggigil. Mereka menggigilberdekat-dekatan.Kemudian ada pesan dari depan."Kepala Regu kumpul," dibisikkan dari mulut kemulut. Kasim berjalan ke muka. Komandan Peletonsudah menanti di depan Regu I. Mereka menerimainstruksi mengenai penyeberangan.Menurut intelligence, musuh menjaga tepiansana dengan kekuatan satu kompi. Sungai diaviasimulai bagian yang airnya setinggi perut. Karenaitu pasukan akan menyeberangi lebih ke hilir. Adakemungkinan air mencapai dada. Perintis telahmenyiapkan tali untuk berpegangan."Ada pertanyaan?" tanya Komandan Peleton.Tak ada yang menyahut Samar-samar SersanKasim melihat pandangan Komandan tertujukepadanya."Bagaimana bayimu?" tanya Komandan."Tidur Pak," jawab Kasim singkat."Kalau pikiranmu berubah, masih ada waktuuntuk menitipkannya kepada barisan keluarga."Kasim tak segera menjawab. Sebentar pikirannyamelayang kepada para wanita dan kanak-kanakyang dititipkan kepada Pak Lurah dan pendudukKarangboga. Kalau situasi aman, mereka akandiseberangkan sedikit demi sedikit oleh rakyat.Mereka akan dijemput oleh satu regu di seberangsungai setelah diberitahu oleh kurir."Sersan Kasim tinggal. Lainnya bubar," kataKomandan menembus kesepian. Kepala regu lainnyakembali kepada anak buahnya.Lagi Kasim merasa pandangan Komandantertuju kepadanya dan kepada anaknya. Kasim tahuapa arti pandangan itu. Ya, ia tahu apa bertanya,apakah ia menyadari dapat membawa kebinasaanbagi lebih dari seluruh kompi. Bahwa bayinya, siAcep, dapat membahayakaan jiwa lebih dari seratusorang prajurit. Itulah yang tersirat dalam pandanganKomandan.Pandangan komandan itu seolah berkata-kata"Ingatlah Kompi 3 batalyon B yang kehilangan 16prajurit dan 10 keluarga, karena serangan mendadakoleh musuh. Hanya karena seorang bayi menangis.Tangis yang dengan cepat menular pada beberapaanak kecil lainnya".Samar-samar sersan Kasim mendengar derausungai di bawah. Dia bayangkan kesunyian malamyang aman dirobek-robek oleh letusan senjata. Diabayangkan kompinya terjebak di tengah-tengahsungai, tak berdaya.Tatakala itu Acep bergerak-gerak dalamgendongan bapaknya. Kasim merasa anaknya menyusup-nyusupkan kepala ke dadanya, ke ketiaknya,seakan-akan mencari perlindungan yang lebih aman.Rasa sayang membual keluar dan menyesakkankerongkongan Kasim. Anakku yang tak sempatmengenal ibunya, pikirnya. Anakku yang disusui olehbotol. Dan kini dia harus dititipkan pada orang lain!Untuk berapa lama? Dan amankah ia dalam asuhanorang lain. Akan selamatkah dibawa orang asing dalampenyeberangan nanti? Anak lelaki titipan satu-satunya,pusat rasa yang sehalus-halusnya, peniggalan istrinyayang setia dan keras hati. Cucu yang akan dibawanyasebagai oleh-oleh untuk orangtuanya di Garut, untukmertuanya di Pager Ageung, sebagai tandamata anakdan menantu yang meninggal.Sersan Kasim membelai anaknya dalamgendongan,"Saya minta izin membawanya," katanya."Kau yakin dia tidak menangis?""Insya Allah, tidak.""Baik kalau begitu. Hati-hati saja.""Siap, Pak. Terima kasih."Ketika giliran peletonnya untuk menyebarang,Kasim mengigil lebih keras lagi. Bukan hanyakarena hujan tambah keras turun. Bukan hanyakarena angin pegunungan yang menembus sela-selarusuknya. Ia juga mengigil karena Acep mulai resahdalam gendongannya. Air hujan sudah merembesmasuk mengenai kulitnya dan ia mulai menggeliatgeliatkebasahan dan kediginan.Sersan Kasim mulai memegang tali yangterentang dari tepi ke tepi. Air membasahi kakinya,membasahi celananya, membasahi sebagian bajunya,menjilat-jilat gendongan anaknya. la mulai repotmeninggikan anak dan senjatanya bersama-sama.Pada suatu saat ia terperosok ke dalam lubangpada alas sungai dan ia terhuyung-huyung dilandaarus yang deras dan dingin. Air mencapai dada,merendam anaknya. Dan tiba-tiba Acep menangis.Acep menangis.Melolong-lolong.Merobek-robek kesunyian malam dari tebingke tebing. Suaranya tajam menyayat hati. Menyayathati bapaknya, hingga sesak bagaikan tak dapatbernapas.Di hulu sungai sebuah peluru kembang apiditembakkan ke udara. Malam jadi terang benderang.Seluruh kompi menahan napas. Masing-masingterpaku pada tempatnya. Peleton 1 di seberangsana. Peleton 3 di seberang sini, sedangkan Peleton2 di tengah-tengah sungai. Di tengah-tengah Peleton2 itulah Acep menangis pada dada bapaknya.Tak ada orang yang mengetahui dengan pasti,apa yang terjadi dalam beberapa menit, yang terasaseperti berjam-jam. Juga Sersan Kasim tidak sadar.Ia hanya tahu, anaknya menangis, setiap saat musuhdapat menumpas mereka dengan senapan mesindan mortir di bawah cahaya peluru kembang apiyang telah mereka tembakkan. Seluruh kompimemandang kepada dia bergantung kepada dia.Nasib seluruh kompi tertimpa pada bahunya.Sejurus kemudian suara Acep meredup. Sesaatlagi lenyap sama sekali.Sunyi turun kembali ke bumi, berat menekan didada sekian puluh lelaki yang jantungnya berdegupseperti bedug ditabuh bertalu-talu. Kembang apidi langit mulai mati, dan kelam mulai menyelimutikembali suasana di lembah sungai itu. Kini yangterdengar hanya derau air yang tak putus-putusnyaditingkah oleh kwek-kwek-kwek katak di tepian.Beberapa menit kemudian kompi menghela napaslega dan selamat tiba di seberang.Keesokan harinya, pada waktu fajar merekah,kompi menunda perjalanannya sementara waktu,meskipun masih terlalu dekat kepada kedudukanmusuh. Mereka berhenti pada sebuah desa. Dengandiantara oleh Pak Lurah dan banyak di antarapenduduk, mereka berkumpul di pinggir desa. Disana, dalam upacara yang singkat, Acep diturunkanke liang kubur. Kemudian semua mata tertuju kepadasosok tubuh Sersan Kasim yang berjongkok dihadapan pusara kecil yang baru ditimbun. Kepalanyaterkulai, menunduk.Akhirnya ia berdiri dan memandang dengan raguraguberkeliling. Kesedihan yang dalam, jelas terukirpada wajahnya. Baju seragamnya tampak kuyup hinggalehernya. Komandan kompi tampil ke muka. Ia menghampiriKasim. la menggenggam tangan kanan sersannyadalam kedua belah tangan. Matanya merah, tidakhanya kurang tidur. Dalam angan-angannya terbayangNabi Ibrahim, yang siap mengorbankan putranya. Tapiia tak berkata apa-apa.Setengah jam kemudian, kompi melanjutkanperjalanannyapada punggung bukit yang sejajar dengantebing sungai. Matahari telah naik, menghalau kabut kemana-mana, memanasi bumi yang lembab oleh hujansemalam. Di tengah-tengah barisannya Sersan Kasimberjalan dengan sten tergantung sunyi pada bahunya.Jauh di bawah, di lembah yang dalam, Sungai Serayusayup-sayup menderau. Keharuan yang luar biasa kinimeluap-luap dalam dada Sersan Kasim, membanjir,menghanyutkan. Dan ia berjalan terus.Dan di bawah, sungai mengalir terus.Sumber: Kumpulan Cerpen Rasa
Sayange,1998.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar